
Ilustrasi masyarakat Indonesia pulang haji, sumber: Suara Nahdiyin
Gibran, anak kecil berumur 6 tahun ini viral di media sosial. Pasalnya, dalam video itu Gibran terlihat merengek nangis karena kelaparan. Saat itu bapaknya tidak ada di rumah karena bekerja menjadi kuli bangunan. Ibunya yang ada di rumah, tidak bisa berbuat banyak, karena tidak memiliki sepeserpun uang untuk membeli sesuatu untuk Gibran.
Setelah video itu viral, banyak masyarakat yang bersimpati. Camat setempat, Dinas sosial dan Unit Pelaksana Kemensos kemudian turun dan membantu Gibran dan keluarganya. Mereka berbondong-bondong memberikan fasilitas dan memastikan keluarga tersebut tidak kelaparan lagi.
Kejadian ini terjadi saat sebagian masyarakat Indonesia akan berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Menurut data yang dirilis oleh Kementrian Agama, kloter pertama jamaah haji akan berangkat pada 12-13 Mei 2024 M/1445 H dengan jumlah sebanyak 241.000 jamaah. Dari jumlah tersebut, terdapat 213.320 jamaah haji reguler, sedangkan sisanya 7.680 adalah jamaah haji khusus.
Dalam satu sisi, tentunya kita bersyukur bahwa semakin banyak umat Islam Indonesia yang bisa melaksanakan ibadah haji. Hal itu bisa dilihat semakin lamanya waktu tunggu berangkat haji dan jumlah kuota yang semakin banyak. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan yang selalu berulang: Mengapa semakin banyak yang pergi haji namun masih ada ada miskin yang kelaparan?
Makna Haji
Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang kelima, selain syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji itu sendiri. Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban bagi orang yang beragama Islam minimal seumur sekali dengan catatan mampu secara materi maupun fisik. Ibadah haji menjadi simbol perjalanan seseorang untuk kembali dan bertemu Sang Pencipta.
Orang yang berhaji setidaknya melaksanakan 4 hal: pertama, menjadi penyempurna agama. Setelah melakukan syahadat, sholat, puasa dan zakat, haji adalah penyempurna diantara rukun lainnya. Kedua, menghapus diskriminasi. Di tanah suci, bertemu dengan orang Islam dari seluruh dunia. Berbeda ras, etnis, warna kulit, sehingga tidak ada lagi perbedaan. Ketiga, lambang persatuan umat Islam. Di Mekkah, akan bertemu dengan orang yang beda negara, beda mazhab, beda ormas, namun Islam menyatukan. Keempat, pengorbanan dan peduli. Berhaji artinya rela, rela berkorban, rela meninggalkan apapun demi menjadi tamu Allah. Rela belajar bahwa hidup ini semuanya milik Allah, dan rela berbagi.
Lebih lanjut, Shihab (1992) merinci ada 5 hal pembelajaran dalam haji, antara lain: Pertama, ibadah haji dimulai berihram. pada saat memakai pakaian ihram, dengan warna pakaian putih, tanpa perhiasan, dan tanpa wangi-wangian, seseorang seakan diingatkan kembali kepada fitrah dan makna hidupnya. Kedua, pada saat tawaf dan wukuf di Arafah, seseorang belajar untuk bersama-sama.
Ketiga, pada saat sa’i, seseorang diingatkan kembali pada peristiwa pengorbanan istri Nabi Ibrahim, yaitu Siti Hajar dan anaknya. Kisah ini mengajarkan bahwa hidup harus senantiasa berjuang. keempat, pada saat wukuf di padang Arafah mengajarkan jamaah haji bahwa manusia adalah makhluk kecil, yang tidak memiliki daya dan upaya kecuali dari-Nya. Kelima, pada saat melakukan tahallul, mengisyaratkan pembersihan dan penghapusan terhadap cara berfikir yang jumud, kotor, statis, sempit dan serakah yang masih bersarang dalam benak manusia.
Sayangnya ibadah haji yang memiliki makna begitu mendalam sekaligus kompleks itu masih banyak yang memaknai ibadah ini hanya dari aspek ibadah ritual. Masih jarang yang memaknai haji sebagai ibadah sosial. Secara spiritual, semakin baik sholatnya. Namun secara sosial, masih banyak yang korupsi, mengambil hak orang lain, enggan memberi untuk orang fakir, miskin, dhuafa.
Kesalehan Sosial
Dalam tulisan ini saya teringat pesan yang disampaikan Prof Haedar Natsir selaku Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah beberapa waktu lalu. Dia mengatakan umat Islam Indonesia yang pergi haji harus memahami makna mabrur. Mabrur berarti semakin tertanamnya kebaikan-kebaikan yang utama selama prosesi sampai pulang ke tempat masing-masing. Berhaji yang mabrur bukan hanya selama prosesi ibadahnya, tetapi tidak kala penting sesudahnya dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila selama haji dilarang mengucapkan ujaran yang jorok, khianat, dan bertengkar, maka dalam kehidupan sehari-hari setelah berhaji perangai buruk itu jangan dilakukan, termasuk dalam bermedia sosial dan interaksi sosial lainnya. Semakin banyak kaum muslim berhaji, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, perusakan sumberdaya alam, dan segala perbuatan buruk tidak terjadi di negeri ini.
Kemabruran haji harus selalu dipelihara. Mabrur adalah perubahan sifat dan sikap sehari-hari. Mabrur juga harus menjadikan kesalehan sosial yang terus meningkat. Pasca ibadah haji, masyarakat harus menjadi penyejuk, peneduh, penengah, dan memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.
Semoga semakin meningkatnya masyarakat Islam Indonesia yang pergi ibadah haji, semakin meningkat pula manusia yang berbuat baik. Semakin banyak orang yang memberi, menjauhi korupsi, dan tidak mengambil hak orang lain. Saya berkhusnudzon bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang baik, dermawan, dan berpedoman kepada prinsip bernegara dan beragama. Sebelum pergi haji, masyarakat-masyarakat tersebut sudah memberi santunan kepada orang miskin, fakir, miskin dan dhuafa. Sudah menjauhi sikap tercela. Tidak ada lagi anak-anak miskin yang menangis karena kelaparan. Semoga para jamaah haji ibadanya diterima Allah Swt. Amiin.