
Warga mengepalkan tangan ketika mengikuti upacara peringatan HUT Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia di Taman Refugia, Desa Penanggungan, Trawas, Kabupataen Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (17/8/2021). Selain meningkatkan semangat rasa cinta tanah air, upacara detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut juga bertujuan memperkenalkan wisata pertanian kepada masyarakat, foto: Antara
Teguhimami.com – Tempat kelahiran saya, di pesisir utara Lamongan, setiap datang bulan Agustus seperti sekarang ini selalu diperingati dengan meriah. Orang-orang desa yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan, pada minggu pertama, sudah mulai memasang bendera merah putih di depan rumahnya. Ditingkat RT, mereka bergotong royong memasang pernak pernik kemerdekaan, botol bekas minuman dicat merah putih dan dipasang di atas jalanan desa. Sekolah-sekolah mengadakan lomba gerak jalan. Ibu-ibu lomba memasak. Orang-orang dewasa sibuk mengadakan hiburan panjat pinang di pinggir pantai.
Mereka merangkai bulan Agustus dengan berbagai kegiatan, tanpa ada yang menyuruh atau memaksa. Meskipun paginya anak-anak pergi sekolah, ibu-ibu jualan ikan di pasar, dan bapak-bapak pergi melaut, namun siang hingga malamnya mereka memberikan waktunya untuk memperingati kemerdekaan. Bahkan, diantara mereka ada yang rela untuk mengeluarkan uang untuk iuran demi terselenggaranya berbagai kegiatan.
Gegap gempita memperingati kemerdekaan tersebut bukan hanya terjadi di desa saya, di desa-desa lain sekitar, atau bahkan desa di kota-kota lain, juga mengadakan hal serupa seperti di desa saya. Desa-desa tersebut memperingati kemerdekannya dengan caranya sendiri. Dengan semangat kecintaannya kepada bangsa Indonesia, mereka membuat ekspresi untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.
Dalam konteks bernegara, mungkin cara yang dilakukan orang-orang desa untuk mencintai negara nilanya sangat kecil dibanding bukti cinta orang-orang kaya di kota yang menyumbang uang dan idenya untuk keberlangsungan Indonesia di masa depan. Namun jika melihat desa di lintas zaman, sejak dulu, orang-orang desa selalu mempertahanan Indonesia dengan berbagai cara. Adanya Indonesia hari ini salah satunya berkat tiang-tiang tangguh dari desa yang menyanggah Indonesia.
Desa dalam Lintas Zaman
Pada zaman kerajaan, orang yang hari ini dinamakan sebagai orang desa, patuhnya kepada negara tidak pernah diragukan. Mereka tunduk, tidak pernah membangkang, bahkan apa-apa yang menjadi instruksi raja, mereka dengarkan dan laksanakan. Mereka percaya bahwa titah raja adalah titah Tuhan. Bagi orang desa, pemegang kekuasaan adalah pengayom dan pelindung. Dominasi kedudukan raja berimplikasi luas terhadap perkembangan pola berpikir masyarakat. Sikap mematuhi raja merupakan realisasi dari kewajiban utama yang harus selalu mereka perhatikan (Riza Multazam, 2017).
Pada zaman kolonial Belanda, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan di seluruh elemen pemerintahan bumiputera, termasuk desa. Undang-undang yang mengatur khusus tentang desa pertama kali terdapat dalam Regeringsreglemen (RR) tahun 1854 yaitu pasal 71 yang mengatur tentang kepala desa dan pemerintah desa. Peratuan ini dimaksudkan agar lebih mudah memantau penduduk desa, karena semuanya harus sepengatuhan dari Gubernur Jendral.
Pasca Kemerdekaan hingga Orde Baru, undang-undang yang mengatur desa terus ada. Undang-undang No 19 tahun 1965 dan undang-undang No 5 tahun 1979 menjadi bukti bahwa kebijakan desa terus ada. Meskipun zaman berupa dan kebijakan mengikuti zamannya, namun penduduk desa masih selalu taat dan melaksanakan semua perintah atas nama negara. Mereka tidak pernah membangkang atau memberontak melepaskan diri dari negara. Jikapun ada, hanya contoh kecil yang tidak merusak kebangsaan.
Penduduk-penduduk desa pada lintas zaman tersebut sudah menggambarkan tentang kondisi bangsa ini, bahwa mereka adalah bangsa yang tunduk dan patuh kepada konstitusi. Mereka rela, meskipun hidup pas-pasan, apa adanya, namun jika berkaitan dengan bangsa, jiwa nasionalisme mereka tumbuh, bahkan jika taruhannya nyawa.
Hal ini terbukti saat orang-orang desa mengusir penjajah dari tanah air, mereka bersama-sama melawan hingga titik darah penghabisan. Saat bangsa ini mempertahankan kemerdekannya pun, lagi-lagi orang-orang desa berbondong-bondong ke kota, Surabaya misalnya, untk bersama mempertahankan tanah air.
Belajar Nasionalisme dari Desa
Kohn (1955) menyebut bahwa nasionalisme seharusnya menjadikan kesetiaan tinggi individu harus diserahkan kepada Negara Kebangsaan. Pesan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpa darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-eda.
Nasionalisme pantas disandingkan dengan orang desa. Desa adalah daerah otonom yang paling tua, dimana desa lahir sebelum lahirnya daerah koordinasi yang lebih besar dan sebelum lahirnya kerajaan (negara), sehingga ia mempunyai otonomi yang penuh dan asli. Sebelum era kolonialisme, struktur politik dan fungsi pemerintahan asli (desa) sudah dikenal luas dalam berbagai masyarakat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di daerah lain di luar Indonesia.
Orang-orang kota, pejabat pemerintahan, kaum terpelajar, selain perlu belajar nasionalisme dari teori dan pendidikan barat, perlu juga belajar nasioanlisme yang dimiliki oleh desa-desa di Indonesia. Mereka merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian dan laut, ikatan sosial, adat dan tradisi masih kuat, sifat jujur dan bersahaja, dan mencintai negaranya dengan sepenuhnya.
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengatakan bahwa Indonesia adalah kumpulan dari desa-desa sehingga membentuk Indonesia, bukan sebaliknya, Indonesia yang melahirkan desa-desa di Indonesia. Indonedia hanya bertindak sebagai platform untuk menyatukan seluruh desa-desa di Indonesia.
Seandainya sejak dulu orang-orang desa tidak pernah mencintai negaranya, antar tetangga saling bunuh, tidak ada ikatan sosial yang kuat, tidak ada kegiatan desa, tidak ada struktur desa yang saling mengingatkan, bahkan berbuat makar dan memisahkan diri dari dunia luar, tentu tidak ada yang namanya Indonesia.
Memupuk semangat nasionalisme di bulan kemerdekaan ini harus adanya, terlebih hari ini kita hidup ditengah masyarakat yang semakin individualis, saling curiga, intoleransi, dan kesenjangan sosial-ekonomi. Kita perlu belajar dari orang desa, bahwa semangat membangun Indonesia tidak pernah meminta balas dan jasa.