Menjadi Orang Tua Asuh Bagi Yatim Piatu

Author name

29 Juli 2025

Muslim family relaxing and playing at home, sumber: Istimewa

Gelombang kedua Pandemi Covid-19 dengan munculnya berbagai varian baru masih menyisahkan pilu. Selain kemiskinan dan kelaparan, bertambahnya jumlah kasus kematian menyebabkan banyak anak menjadi yatim piatu.

Hampir di berbagai wilayah, anak yang menjadi yatim piatu itu belum mengetahui bagaimana mereka menatap masa depan. Jangankan menatap, membayangkan saja mereka takut. Kehadiran orang tua yang menjadi penuntun dan panutan hidup, sudah tinggal cerita.

Sepekan terakhir ini pun berbagai media massa menjadikan kasus anak yatim piatu ditinggal wafat oleh orang tuanya sebagai headline utama. Kisah-kisah kesedihan, tangisan, ketidakberdayaan yatim piatu, diangkat menjadi kisah yang selalu kita baca dan dengarkan.

Data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan bahwa korban jiwa terutama yang terjadi pada kelompok usia di atas 60 tahun adalah 46,5 persen, disusul usia 46-59 tahun 36,8 persen, dan usia 31-45 tahun 12,9 persen. Kelompok usia 0-5 tahun dan 6-18 tahun yang jadi korban jiwa masing-masing 0,5 persen serta kelompok usia 19-30 tahun 2,8 persen. Data tersebut mempertegas usia yang saat ini menjadi orang tua banyak yang wafat dan meninggalkan anak-anaknya.

Ribuan anak yang ditinggal wafat oleh orang tuanya adalah harapan masa depan bangsa. Salah satu diantara mereka mungkin kelak akan memimpin negeri ini. Membiarkan nasib mereka hari ini sama dengan menghancurkan Indonesia di kemudian hari.

Menyantuni Yatim Piatu

Menurut Satgas Penanganan Covid-19, per 20 Juli 2021, ada 11.045 anak yang menjadi yatim piatu, yatim, atau piatu karena orang tua meninggal akibat Covid-19. Adapun data dalam Laman Imperial College London memprediksi jumlah anak kehilangan orang tua di Indonesia sejumlah 38.127 orang.

Ketua Umum Forum Organisasi Zakat (FOZ) Bambang Suherman mengatakan, sebagian anak yang kehilangan orang tua selama pandemi tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Pernyataan Bambang bukanlah suatu pernyataan yang mengejutkan, sebab, lembaga-lembaga zakat di Indonesia yang tergabung dalam FOZ sudah mendata, membantu, dan menjadi orang tua asuh bagi yatim piatu. Lembaga-lembaga zakat terkemuka di Indonesia, seperti LMI, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Baznas, Nurul Hayat, Yatim Mandiri, Lazismu, dan Lazisnu, sudah mengeluarkan kebijakannya terlebih dahulu.

Selain lembaga zakat, pemerintah di berbagai daerah, seperti di Jawa Timur dan Jawa Tengah juga sudah menyuarakan dan mengajak menyantuni yatim piatu. MPR, DPR, partai politik, organisasi keagamaan, semua berlomba-lomba untuk menyantuni yatim piatu. Bahkan ada beberapa kepala daerah yang sudah menjadi orang tua asuh.

Masyarakat sipil juga sudah banyak yang membuat gerakan solidaritas. Mereka berbondong-bondong mengajak masyarakat lainnya untuk memberi santunan. Campaign menarik, ajakan cerdik, semua digalakkan untuk membantu yatim piatu.

Sifat gotong royong masyarakat Indonesia menjadi nilai positif. Di tengah keterbatasan mereka, masih mau membantu yatim piatu. Meskipun bagi masyarakat, mereka belum sepenuhnya mampu secara finansial, sebab selama pandemi, banyak masyarakat yang tidak memiliki pendapatan secara pasti.

Menjadi Orang Tua Asuh

Pertanyaan selanjutnya muncul: Setelah gerakan menyantuni yatim piatu itu marak, lantas apakah permasalahan selesai? Kiranya hal itu perlu didiskusikan ulang. Gerakan menyantuni yatim piatu, Setidaknya memiliki dua sisi. Satu sisi akan menyelesaikan permasalahan, satu sisi belum bisa menuntaskan persoalan.

Gerakan menyantuni anak yatim bisa jadi selesai secara meterial. Kehidupan anak-anak yatim piatu akan tercukupi. Kebutuhan keseharian, makan, biaya sekolah, semua bisa tercukupi. Namun secara mental, bisa jadi akan menimbulkan persoalan. Dampak psikososial bagi yatim piatu akan terus ada jika tidak ada yang mendampingi. Sebab anak-anak yang masih kecil, masih memerlukan panutan dan tuntunan. Mereka membutuhkan kasih sayang dan pengarah untuk memilih dan memilah pilihan yang akan menjadi pedoman hidup.

Memberikan pendidikan yang baik dan benar merupakan kelanjutan dari pelaksanaan tanggung jawab setelah menyantuni. Pemerintah, lembaga, atau masyarakat bukan sekadar memberikan pemenuhan hidup, melainkan juga memberikan pandangan hidup. Mendidik yatim piatu berarti membahagiakan hidup mereka dan memberikan pandangan optimis akan masa depannya.

Pada mulanya pemeliharaan, pengasuhan dan pendidikan yatim piatu adalah wajib bagi saudara kandung serta kaum kerabat, jika mereka ingin mengatasi kondisi-kondisi psikologis dan moral yatim piatu, maka tidak ada alternatif lain bagi mereka selain melebihkan kasih sayang dan perhatian kepada mereka, termasuk memberikan perasaan bahwa mereka itu di cintai, diperlakukan dan dikasihi sebagaimana anak-anak mereka sendiri.

Jika saudara kandung dan kaum kerabat tidak ada, maka negara atau lembaga-lembaga sosial wajib memelihara, mengatur, mendidik mereka, disamping mengangkat eksistensi dan derajat hidup mereka. Sebab anak adalah amanat konstitusi yang harus di jaga.

Solidaritas memberi santunan dan berlomba-lomba menjadi orang tua asuh perlu diapresiasi. Namun gerakkan ini harus dikembangkan untuk gerakan yang lebih panjang: Menjaga, mendidik, dan mendampingi yatim piatu untuk menatap masa depan.

Tinggalkan komentar